Thursday, February 27, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 8): MENULIS ULANG

Menulis ulang (rewriting) tidak bisa dihindarkan oleh penulis. Apakah dia penulis pemula atau sudah menulis puluhan novel sekalipun, dia harus melewati tahap ini. Jika ada seorang penulis merengek dan curhat di sosial media karena diminta editor menulis ulang, dia patut dikasihani karena tidak serius terhadap karya sendiri. Penulis semacam ini sangat tidak profesional. Atau karena keangkuhan dia mengira karyanya sudah layak mendapatkan Nobel. 


Sumber: The Creative Penn
Saatnya kejujuran: kamu (ingin) menjadi penulis profesional berarti kamu memilih sebuah pekerjaan. Setiap pekerjaan memilik job description, begitu juga penulis. Salah satu tugas penulis adalah merevisi naskah hingga dianggap layak oleh editor penerbitan. Tidak peduli apakah ini pekerjaan sampinganmu, kamu harus melakukannya seakan kamu karyawan tetap yang dinaungi aturan perusahaan. Jika tidak melakukan dengan baik, kamu bisa dipecat. Kecuali kamu self publishing atau menerbitkan buku dengan uang sendiri via sebuah penerbit, terserahlah. Namun, jika uang perusahaan yang dipertaruhkan di dalam naskahmu itu, kamu harus memberikan yang terbaik demi investasi itu bisa balik modal. See? Masuk dunia profesional berarti masuk dunia bisnis. 

Sebelum aku  semakin berlama-lama dan membeberkan pengalaman menghadapi penulis manja, mari kita lanjutkan apa yang James N. Frey katakan di dalam bukunya How to Write A Good Damn Novel mengenai menulis ulang. Dia mengatakan menulis ulang sangat perlu dilakukan sebelum naskah dikirimkan ke agen naskah atau penerbit. Penerbit berhak mendapatkan naskah yang bagus, bukan draft pertama yang masih acak-acakan. Bagaimana kita tahu naskah kita sudah bagus atau belum?

Begini, jika kita sudah mengikuti setiap minggu pelajaran menulis novel, kita mengerti apa saja aspek yang diperlukan dalam menulis novel. Lalu kita melakukannya: mendapat ide, menciptakan karakter, konflik, alur cerita, dialog, dan sudut pandang, dan ... apakah ini menjamin karya kita bagus? Sayangnya tidak. Masih ada hal yang perlu dilakukan. Inilah yang akan kita pelajari lebih lanjut.

Ada istilah “writer blindness”, yaitu penulis tidak mampu melihat kekurangan pada naskahnya sendiri. Oh, dia menguasai teknik menulis. Jika dia membaca karya orang lain dia selalu bisa menemui kesalahan di sana. Karakternya tidak kuat? Dialognya seperti cerita kacangan? Dia bisa memberitahukannya. Namun, kenapa dia tidak mampu melihat kekurangan naskahnya sendiri, kekurangan yang memang-memang ada di sana, tetapi tidak dia sadari? Itulah kebutaan penulis.

Alasannya, bisa jadi, dia sudah mengalami jatuh bangun dalam menulis naskah tersebut. Sehingga dia merasa kedekatan pada karakter, adegannya, dsb. Dia merasa semua aspek sudah tepat berada di posisi, tidak ada yang perlu diubah lagi. Jika ada yang mengatakan naskah ini jelek ... dia akan kesal. Well, dia berada di lingkaran subjektivitas. Sebagai penulis naskah bagus, kita membutuhkan pendapat objektif. 

Cara pertama: bergabung di kelompok penulis. Ada tiga tipe kelompok penulis:
Puff: orang-orang yang selalu memuji karya yang  mereka baca. Mereka sekadar mengatakan: “Wow. Keren. Hebat. Good Job. Awesome.” atau “Idenya bagus.” atau “Aku suka banget tokoh cowoknya suka hujan.” atau “Pembukaan bikin aku merasa seperti di surga.” atau “Nggak ada yang ngalahin cerita kamu, romantis bangeud.” Atau semacamnya. Kelompok tipe ini enak dijadikan teman mengobrol, tetapi bukan kelompok yang kita perlu minta mereka membaca naskah kita. 
Literary: orang-orang yang akan membandingkan naskah kita dengan karya sastra klasik atau karya penulis besar. Mereka sangat suka penulisan eksperimental, sehingga penulisan kita yang ‘standar’ tetapi mengutamakan cerita, akan mereka anggap tidak bagus. Mereka berharap kita (dan diri mereka sendiri) bisa menulis seperti J. D. Salinger atau Haruki Murakami. Padahal yang kita inginkan adalah cerita kita bisa disampaikan dengan baik, meskipun sederhana. Sebaiknya kelompok ini dijadikan teman saja, pengetahuan sastra mereka sungguh bernilai, tetapi bukan untuk menilai naskah kita.
Destructive: orang-orang yang benar-benar membaca naskah kita, memberitahukan apa kekurangan naskah kita, mengkritik naskah dengan argumen yang masuk akal. Mungkin mereka akan berkata, “Karaktermu seorang pria angkatan laut, kenapa pilihan kata untuk dialognya seperti pilihan kata karakter ibu rumah tangga?” atau “Narasi dan dialogmu bertele-tele, tidak menggiring pembaca ke kesimpulan apa pun tentang karakter atau cerita.” atau “Kamu terlalu berlama-lama sehingga membuat pembaca bosan menantikan konflik terjadi di adegan ini.” Mungkin kita akan syok mendengar komentar mereka. Tahanlah diri, duduk, dengarkan/bacalah apa yang mereka katakan/tuliskan. Mereka akan menilai secara objektif terhadap karya di tangan mereka. Pilihlah kelompok ini.

Hal yang perlu kita perhatikan saat menerima kritik dan saran adalah:
Pastikan kita merevisi untuk menjadi naskah kita, bukan menjadi naskah yang orang lain harap kita menuliskannya. Jika kita ingin menulis romance, jangan terima saran yang mengatakan naskah itu perlu ditambah adegan tembak-tembakan. 
Kumpulkan kritikan mereka, pilah yang mana kita pikir memang hal tersebut tidak terperhatikan oleh kita sebelumnya.
Tanyakan pada diri sendiri, apakah saran tersebut memang diperlukan naskah itu tanpa mengubah premisnya. Jika kita setuju, terimalah saran tersebut.
Jika beberapa pemberi saran dan kritik mengajukan hal yang sama, bisa dipastikan memang aspek tersebut perlu perbaikan.
Diskusikan lebih lanjut dengan pemberi saran/kritik, jangan berdebat. 

Cara kedua: meminta teman yang kita percayai untuk membaca dan membedah naskah. Ini dilakukan jika kita tidak bisa menemukan destructive group di mana pun (mungkin ada yang belum punya Facebook atau Twitter). Mintalah kepada beberapa orang.

Begini tipsnya:
Katakan pada teman kita itu bahwa naskah ini punya orang lain. Dengan begitu dia akan membaca tanpa rasa segan atau takut melukai perasaan kita. 
Biarkan dia menyampaikan apa pun yang dia pikirkan tentang naskah itu. Jangan dibantah, jangan membela naskah, jangan menjelaskan isi naskah, jangan meminta pengertiannya.
Minta dia membuat alat diagnosa naskah. 

  • Bisa berdasarkan aspek-aspek novel, yaitu karakter, konflik, premis, alur, klimaks, dialog, sudut pandang. 
  • Atau dengan membuat grafik antusiasme. Buatlah untuk setiap bab. Jika bab pertama menarik, minta dia memberikan nilai dalam rentang 5-10. Jika tidak menarik bab selanjutnya, berikan nilai 1-5. 
  • Atau per adegan. 
  • Atau membuat vote terhadap karakter favorit, adegan favorit, dan sebaliknya karakter atau adegan mana yang sangat tidak menarik.

Nah, dengan begitu kita bisa melihat bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki. 
Seperti sebelumnya, pilih dan pilah kritik dan saran yang akan kita setujui. Jadilah objektif terhadap karya sendiri.

Kita bisa memberikan jarak waktu dari mendapat kritikan-kritikan ke waktu revisi demi mendapatkan “penglihatan” baru terhadap naskah sendiri. Kita perlu berjarak dari naskah tersebut.


Cara ketiga: kritik diri sendiri dengan objektif. Pengkritik terbaik adalah diri sendiri, walaupun ini sebuah keahlian yang perlu waktu untuk mengasahnya. 

Begini caranya: 
Setelah naskah kita selesai, beri waktu seperlunya hingga kita membaca naskah itu lagi. Tiga atau empat bulan bukanlah waktu yang lama. Kadang penulis butuh satu tahun atau lebih agar bisa berjarak dengan naskah.
Pura-puralah menjadi orang lain, anggap ini naskah orang lain. Kita harus menemukan kekurangan naskah tersebut.
Berikan pertanyaan mendasar aspek-aspek menulis. Karakterisasi, adegan, dkk.
Catat apa saja kekurangannya, berikan argumentasinya.
Buat kesimpuan dan rencana revisi.

Saat merevisi, pastikan kita bersikap adil terhadap diri sendiri. Jangan manjakan diri sendiri. Jangan biarkan bagian diri yang memilih profesi sebagai penulis profesional kalah oleh ego penulis. Revisilah naskah dengan jujur. Jangan biarkan kritik mengalahkan semangat kita. Jangan biarkan malas menguasai. Inilah ujian yang akan membuat diri kita semakin terasah kemampuannya. Kita merevisi demi naskah yang bagus.
Sumber: Pinterest

Seperti kata Ernest Hemingway, setiap draft pertama adalah sampah. Hemingway selalu dianggap genius dalam menulis, tetapi dia selalu menulis ulang tulisannya. Bahkan dia pernah menulis ulang adegan hingga tiga puluh hingga empat puluh kali. Dibandingkan sang genius, siapakah kita? 

Dan Minggu depan adalah bagian terakhir dari musim pertama BELAJAR MENULIS NOVEL. Topik yang kita bahas  adalah: MENJADI PENULIS. Ya, tentang posisi diri sebagai penulis.

Semoga bermanfaat.



Share:

1 comment:

  1. aduh makasih banyak neh tips 1-8 membuat novel sekarang waktu aku coba nerapin tipsnya

    ReplyDelete

Thank you so much for the comment.