Wednesday, June 18, 2014

Character that Stands Out (Catatan Belajar dengan Eka Kurniawan)

Sumber Gambar: Professional Academy

Aku beruntung bisa ikut Writing Clinic Femina, belajar dari salah satu penulis yang kukagumi, Eka Kurniawan. Walaupun ada perasaan tidak nyaman berada di ruangan serba guna Gedung Femina itu. Selain suhu ruangan terlalu dingin untuk pagi hari berhujan, aku juga adalah 1 dari 4 orang pria yang menjadi peserta. Bahkan aku malu untuk mengangkat tangan hendak bertanya. Yah, pada akhirnya aku memang tidak berkesempatan bertanya satu hal pun.

Namun, sesi Eka Kurniawan cukup untuk menambah pengetahuanku. Tema yang diangkat oleh penyelenggara adalah “Eksplorasi Karakter Wanita dalam Karya Fiksi”.  Dan Eka memberikan makalah dan kuliah lebih general, “Menciptakan Karakter” tanpa mengkhususkan karakter wanita atau tidak. 

Ada beberapa tahapan dalam membuat karakter. Tahapan ini berguna untuk menciptakan karakter yang “stands out”. Menonjol. Seorang karakter dalam cerita yang akan meninggalkan kesan bagi pembaca. Seperti Nyai Ontosoroh. Karakter yang kuat. Pembaca tetap ingat meski sudah membaca begitu lama.

Secara ringkas, berikut cara menciptakan karakter:

Ciptakan yang Menonjol
Seperti setangkai bunga kuning di padang rumput hijau luas. Keberadaannya mudah untuk ditangkap mata. Dicontohkan, karakter Nyai Ontosoroh menjadi wanita yang tidak bersedia menyerah begitu saja dengan keadaan di masa kolonial. Dia unik dari semua karakter lainnya.

Pada sesi latihan, Eka meminta para peserta untuk menentukan sebuah kejadian dramatis beserta tiga karakter yang merespons secara berbeda. Latihan ini berguna untuk menentukan seberapa menonjol karakter kita, yang sebaiknya menjadi karakter utama. Aku membagikan tulisanku di sini, aku merasa sudah cukup sama dengan apa yang diharapkan dari latihan ini. 

Peristiwa: anak sulung yang dibanggakan dari sebuah keluarga meninggal karena bunuh diri. 
Respons Karakter:
Karakter 1 (Ibu): berusaha tegar, mengajak keluarganya untuk merelakan. 
Karakter 2 (ayah): depresi dan merasa bersalah, merasa gagal.
Karakter 3 (anak bungsu): menutup diri, merasa bingung dan stres, hingga menutup diri.
Karakter Ibu sudah menunjukkan sifat menonjol, berbeda daripada karakter lainnya. Keunikan bisa menimbulkan konflik, dan itulah hal penting dalam cerita. Konflik. 

Selain itu, kita juga bisa menciptakan twist. Seorang karakter memiliki sifat tertentu, tetapi di bawah sadarnya dia juga memiliki sifat yang berlawanan. Saat menghadapi konflik, dia dianggap berubah oleh lingkungannya. Padahal sifat berbeda tersebut sudah ada sejak lama. Contoh: seorang introvert yang berubah menjadi ekstrovert karena jatuh cinta.

Karakter utama mestilah menjadi sosok yang paling menonjol. Bukan berarti dia sempurna, tetapi dia memang memiliki keunikan yang memicu konflik. 

Buat Masuk Akal
Karakter mestilah berada di latar cerita yang layak. Eka mengatakan jangan pergi ke pesta dengan salah kostum (walaupun dia datang berkaus merah di acara dengan dress code biru, hehe). Karakter pun begitu. 

Ekspresikan Karakter
Cara paling mudah adalah dengan memberi nama. Sebaiknya nama tidak asal comot dari daftar nama di buku telepon ataupun di buku nama-nama bayi seluruh dunia. Untuk penulis yang peduli dengan semua aspek karyanya, nama bisa jadi hal yang menunjukkan karakter tokoh tanpa perlu mengatakannya. Misalkan, karakter dengan nama Sakura Kinomoto, tanpa diberitahukan pun pembaca sudah bisa menebak bahwa dia orang Jepang. Pembentukan karakter juga dilakukan untuk fisik, sifat, lingkungan, kondisi-kondisi tertentu. Gunakan prinsip “show-tell” secara bijak dalam tulisan. 

Kembangkan Karakter
Ini adalah hal yang sulit, kata Eka, karena tugas penulis mengawal pengembangkan karakter agar tetap masuk akal. Cerita terdiri dari konflik dan konflik dan konflik. Agar tidak sekadar laporan peristiwa, karakter mestilah berkembang dari satu konflik ke yang lainnya. Dan, perubahan karakter harus masuk akal. 

Buat Respons yang Sesuai
Perhatikan bagaimana respons karakter terhadap peristiwa yang menimpanya. Respons tersebut mestilah mempertimbangkan langkah-langkah sebelumnya. Contoh: respons terhadap peristiwa penembakan di sebuah mal. Seorang wanita biasa pasti sudah ketakutan dan berusaha melarikan diri ke tempat yang dia pikir aman. Sedangkan wanita yang sedang liburan, tetapi dia sebenarnya adalah polisi, pasti berusaha mencari tahu di mana kejadian itu—atau dia paling tidak tergerak untuk melindungi orang-orang lainnya alih-alih melarikan diri juga.

Sesi latihan terakhir, Eka meminta peserta untuk memberikan respons dari peristiwa berikut:

Peristiwa: seorang ayah membunuh tetangganya yang dia yakini telah memperkosa anak gadisnya. Namun, ternyata dia membunuh orang yang salah. 
Pertanyaan: apa yang akan dia katakan kepada anak gadis si tetangga tersebut?
Jawabanku: “Kamu bisa membunuhku, menjadikan anakku seperti dirimu. Tapi dia akan sedih. Dan aku tidak suka anakku semakin menderita.”

Sebagian peserta mengajukan jawaban yang mengedepankan moral, penyesalan, dan sikap rela untuk dihukum. Mungkin aku sedikit banyak juga melakukan hal yang sama. Padahal, kata Eka, penulis perlu memberi jarak dirinya dari karakter. Jangan memaksakan karakter menjadi penulis atau memiliki pandangan sama seperti penulis. Dengan itulah kita bisa menciptakan krakter yang stands out.

Itulah catatan belajarku. 
Semoga aku bisa semakin terasah untuk menciptakan karakter yang memorable

Semoga bermanfaat.

Share:

Tuesday, April 29, 2014

5 Film Rekomendasi untuk Penulis

Aku suka mencari film tentang penulis. Terkadang tujuannya untuk mencari inspirasi, terkadang sekadar untuk belajar. Terkadang aku menonton demi mencari cerita teman yang seperjuangan. 5 film berikut sangat berkesan bagiku.

1. Freedom Writer (2007)
Berlatar sekolah integrasi antaretnis di Long Beach, film ini bercerita tentang guru bahasa Inggris, Erin Gruwell, yang berusaha memahami murid-muridnya melalui tugas menulis. Mereka boleh menulis apa pun. kegiatan menulis membantu mereka saling memahami meski berbeda. Kita bisa tahu apa manfaat menulis dan membaca dari film ini. 

Sumber Gambar: Movie Poster

2. The Word (2012)
Seorang penulis muda berjuang menyelesaikan novelnya. Sepulangnya bulan madu ke Paris, dia menemukan sebuah manuskrip di tas yang dia beli. Manuskrip itu sangat indah, sampai-sampai dia ingin mengetik ulang setiap katanya. Dia terpaksa mengakui itu karyanya sendiri dan buku itu terbit. Hingga suatu hari, penulis aslinya menemuinya dan meminta pertanggungjawaban. Inilah cerita tentang plagiarisme. 

Sumber Gambar: cronicariu

3. Finding Forrester (2000)
Seorang remaja kulit hitam di Bronx, Jamal Wallace, belajar menulis dari bapak tua, yang ternyata adalah seorang penulis terkenal. Forrester, nama bapak itu, sedang menjauh dari dunia penulisan dan tidak menulis lagi. Di sekolah, Jamal berhadapan dengan guru angkuh yang iri terhadap kemampuan menulis Jamal. Karena suatu kejadian, Forrester terpaksa menyelamatkan reputasi anak didiknya. Di film ini, kita bisa belajar bahwa siapa pun bisa menulis dengan banyak membaca dan banyak latihan menulis.   

Sumber Gambar: Baglan Filmizle


4. Julie and Julia (2009)
Julie kesal karena dia tidak bisa menyelesaikan novelnya, dan menjadi olokan teman-temannya. Dia mencari ide demi menunjukkan dirinya benar-benar penulis. Dia membuat blog, berisi jurnal usahanya untuk mencobai semua resep dari buku Julia Child. Di sisi lain, Julia Child berusaha menjadi penulis buku resep masakan untuk wanita-wanita Amerika. Ketekunan dan pantang berhenti hingga tugas terakhir dilaksanakan, alias sampai draft pertama selesai, adalah satu hal yang bisa kita ambil dari film ini. 

Sumber Gambar: Impawards


5. Authors Anonymous (2014)
Sekelompok penulis  masih berjuang agar bukunya diterima agen/penerbit. Mereka kumpul setiap Selasa malam untuk membahas karya masing-masing. Ada yang tidak pede dengan tulisannya, ada yang selalu menulis ulang 3 halaman yang sama, ada yang terlalu angkuh hingga memercayakan bukunya di-self-publish, ada yang terlalu banyak ide tetapi tidak pernah ditulis, dan ada yang tidak mau membaca buku. Hingga salah satu anggota, Hannah, cewek cantik tetapi sedikit bodoh, diterima naskahnya oleh agen, lalu penerbit, lalu akan dibuat film. Anggota lain ikut senang, tetapi mereka jelas-jelas iri hati. Semenjak itulah kehancuran kelompok mereka dimulai. Film ini sangat khas penulis. Ia menunjukkan betapa beragamnya sifat penulis dan bagaimana mereka mengusahakan karier kepenulisan mereka. 

Sumber Gambar: Ace Showbiz

Sudah pernah menonton film-film di atas? Atau ada film tentang penulis lagi yang sangat menarik untuk ditonton? 

Share:

Thursday, March 6, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 9): MENJADI PENULIS

Inilah pos terakhir dari seri BELAJAR MENULIS NOVEL dari buku How to Write A Good Damn Novel, jilid I, karya James N. Frey. Daripada menulis ulang isi babnya, lebih baik kita mengadakan kuis (atau ujian akhir seperti di sekolahan). Semua pertanyaan ini silakan dijawab. Boleh dalam hati, dalam kotak komentar, atau isi pada google docs berikut. Hasil jawaban akan kupublikasikan jika banyak yang mengisi dan cukup untuk dianalisis.





Semoga bermanfaat.

Baca bahasan sebelumnya:  Minggu 1: Karakter – Minggu 2: Konflik – Minggu 3: Premis – Minggu 4: Cerita  Minggu 5: Klimaks – Minggu 6: Sudut Pandang – Minggu 7: Dialog - Minggu 8: Menulis Ulang

Share:

Thursday, February 27, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 8): MENULIS ULANG

Menulis ulang (rewriting) tidak bisa dihindarkan oleh penulis. Apakah dia penulis pemula atau sudah menulis puluhan novel sekalipun, dia harus melewati tahap ini. Jika ada seorang penulis merengek dan curhat di sosial media karena diminta editor menulis ulang, dia patut dikasihani karena tidak serius terhadap karya sendiri. Penulis semacam ini sangat tidak profesional. Atau karena keangkuhan dia mengira karyanya sudah layak mendapatkan Nobel. 


Sumber: The Creative Penn
Saatnya kejujuran: kamu (ingin) menjadi penulis profesional berarti kamu memilih sebuah pekerjaan. Setiap pekerjaan memilik job description, begitu juga penulis. Salah satu tugas penulis adalah merevisi naskah hingga dianggap layak oleh editor penerbitan. Tidak peduli apakah ini pekerjaan sampinganmu, kamu harus melakukannya seakan kamu karyawan tetap yang dinaungi aturan perusahaan. Jika tidak melakukan dengan baik, kamu bisa dipecat. Kecuali kamu self publishing atau menerbitkan buku dengan uang sendiri via sebuah penerbit, terserahlah. Namun, jika uang perusahaan yang dipertaruhkan di dalam naskahmu itu, kamu harus memberikan yang terbaik demi investasi itu bisa balik modal. See? Masuk dunia profesional berarti masuk dunia bisnis. 

Sebelum aku  semakin berlama-lama dan membeberkan pengalaman menghadapi penulis manja, mari kita lanjutkan apa yang James N. Frey katakan di dalam bukunya How to Write A Good Damn Novel mengenai menulis ulang. Dia mengatakan menulis ulang sangat perlu dilakukan sebelum naskah dikirimkan ke agen naskah atau penerbit. Penerbit berhak mendapatkan naskah yang bagus, bukan draft pertama yang masih acak-acakan. Bagaimana kita tahu naskah kita sudah bagus atau belum?

Begini, jika kita sudah mengikuti setiap minggu pelajaran menulis novel, kita mengerti apa saja aspek yang diperlukan dalam menulis novel. Lalu kita melakukannya: mendapat ide, menciptakan karakter, konflik, alur cerita, dialog, dan sudut pandang, dan ... apakah ini menjamin karya kita bagus? Sayangnya tidak. Masih ada hal yang perlu dilakukan. Inilah yang akan kita pelajari lebih lanjut.

Ada istilah “writer blindness”, yaitu penulis tidak mampu melihat kekurangan pada naskahnya sendiri. Oh, dia menguasai teknik menulis. Jika dia membaca karya orang lain dia selalu bisa menemui kesalahan di sana. Karakternya tidak kuat? Dialognya seperti cerita kacangan? Dia bisa memberitahukannya. Namun, kenapa dia tidak mampu melihat kekurangan naskahnya sendiri, kekurangan yang memang-memang ada di sana, tetapi tidak dia sadari? Itulah kebutaan penulis.

Alasannya, bisa jadi, dia sudah mengalami jatuh bangun dalam menulis naskah tersebut. Sehingga dia merasa kedekatan pada karakter, adegannya, dsb. Dia merasa semua aspek sudah tepat berada di posisi, tidak ada yang perlu diubah lagi. Jika ada yang mengatakan naskah ini jelek ... dia akan kesal. Well, dia berada di lingkaran subjektivitas. Sebagai penulis naskah bagus, kita membutuhkan pendapat objektif. 

Cara pertama: bergabung di kelompok penulis. Ada tiga tipe kelompok penulis:
Puff: orang-orang yang selalu memuji karya yang  mereka baca. Mereka sekadar mengatakan: “Wow. Keren. Hebat. Good Job. Awesome.” atau “Idenya bagus.” atau “Aku suka banget tokoh cowoknya suka hujan.” atau “Pembukaan bikin aku merasa seperti di surga.” atau “Nggak ada yang ngalahin cerita kamu, romantis bangeud.” Atau semacamnya. Kelompok tipe ini enak dijadikan teman mengobrol, tetapi bukan kelompok yang kita perlu minta mereka membaca naskah kita. 
Literary: orang-orang yang akan membandingkan naskah kita dengan karya sastra klasik atau karya penulis besar. Mereka sangat suka penulisan eksperimental, sehingga penulisan kita yang ‘standar’ tetapi mengutamakan cerita, akan mereka anggap tidak bagus. Mereka berharap kita (dan diri mereka sendiri) bisa menulis seperti J. D. Salinger atau Haruki Murakami. Padahal yang kita inginkan adalah cerita kita bisa disampaikan dengan baik, meskipun sederhana. Sebaiknya kelompok ini dijadikan teman saja, pengetahuan sastra mereka sungguh bernilai, tetapi bukan untuk menilai naskah kita.
Destructive: orang-orang yang benar-benar membaca naskah kita, memberitahukan apa kekurangan naskah kita, mengkritik naskah dengan argumen yang masuk akal. Mungkin mereka akan berkata, “Karaktermu seorang pria angkatan laut, kenapa pilihan kata untuk dialognya seperti pilihan kata karakter ibu rumah tangga?” atau “Narasi dan dialogmu bertele-tele, tidak menggiring pembaca ke kesimpulan apa pun tentang karakter atau cerita.” atau “Kamu terlalu berlama-lama sehingga membuat pembaca bosan menantikan konflik terjadi di adegan ini.” Mungkin kita akan syok mendengar komentar mereka. Tahanlah diri, duduk, dengarkan/bacalah apa yang mereka katakan/tuliskan. Mereka akan menilai secara objektif terhadap karya di tangan mereka. Pilihlah kelompok ini.

Hal yang perlu kita perhatikan saat menerima kritik dan saran adalah:
Pastikan kita merevisi untuk menjadi naskah kita, bukan menjadi naskah yang orang lain harap kita menuliskannya. Jika kita ingin menulis romance, jangan terima saran yang mengatakan naskah itu perlu ditambah adegan tembak-tembakan. 
Kumpulkan kritikan mereka, pilah yang mana kita pikir memang hal tersebut tidak terperhatikan oleh kita sebelumnya.
Tanyakan pada diri sendiri, apakah saran tersebut memang diperlukan naskah itu tanpa mengubah premisnya. Jika kita setuju, terimalah saran tersebut.
Jika beberapa pemberi saran dan kritik mengajukan hal yang sama, bisa dipastikan memang aspek tersebut perlu perbaikan.
Diskusikan lebih lanjut dengan pemberi saran/kritik, jangan berdebat. 

Cara kedua: meminta teman yang kita percayai untuk membaca dan membedah naskah. Ini dilakukan jika kita tidak bisa menemukan destructive group di mana pun (mungkin ada yang belum punya Facebook atau Twitter). Mintalah kepada beberapa orang.

Begini tipsnya:
Katakan pada teman kita itu bahwa naskah ini punya orang lain. Dengan begitu dia akan membaca tanpa rasa segan atau takut melukai perasaan kita. 
Biarkan dia menyampaikan apa pun yang dia pikirkan tentang naskah itu. Jangan dibantah, jangan membela naskah, jangan menjelaskan isi naskah, jangan meminta pengertiannya.
Minta dia membuat alat diagnosa naskah. 

  • Bisa berdasarkan aspek-aspek novel, yaitu karakter, konflik, premis, alur, klimaks, dialog, sudut pandang. 
  • Atau dengan membuat grafik antusiasme. Buatlah untuk setiap bab. Jika bab pertama menarik, minta dia memberikan nilai dalam rentang 5-10. Jika tidak menarik bab selanjutnya, berikan nilai 1-5. 
  • Atau per adegan. 
  • Atau membuat vote terhadap karakter favorit, adegan favorit, dan sebaliknya karakter atau adegan mana yang sangat tidak menarik.

Nah, dengan begitu kita bisa melihat bagian-bagian mana yang perlu diperbaiki. 
Seperti sebelumnya, pilih dan pilah kritik dan saran yang akan kita setujui. Jadilah objektif terhadap karya sendiri.

Kita bisa memberikan jarak waktu dari mendapat kritikan-kritikan ke waktu revisi demi mendapatkan “penglihatan” baru terhadap naskah sendiri. Kita perlu berjarak dari naskah tersebut.


Cara ketiga: kritik diri sendiri dengan objektif. Pengkritik terbaik adalah diri sendiri, walaupun ini sebuah keahlian yang perlu waktu untuk mengasahnya. 

Begini caranya: 
Setelah naskah kita selesai, beri waktu seperlunya hingga kita membaca naskah itu lagi. Tiga atau empat bulan bukanlah waktu yang lama. Kadang penulis butuh satu tahun atau lebih agar bisa berjarak dengan naskah.
Pura-puralah menjadi orang lain, anggap ini naskah orang lain. Kita harus menemukan kekurangan naskah tersebut.
Berikan pertanyaan mendasar aspek-aspek menulis. Karakterisasi, adegan, dkk.
Catat apa saja kekurangannya, berikan argumentasinya.
Buat kesimpuan dan rencana revisi.

Saat merevisi, pastikan kita bersikap adil terhadap diri sendiri. Jangan manjakan diri sendiri. Jangan biarkan bagian diri yang memilih profesi sebagai penulis profesional kalah oleh ego penulis. Revisilah naskah dengan jujur. Jangan biarkan kritik mengalahkan semangat kita. Jangan biarkan malas menguasai. Inilah ujian yang akan membuat diri kita semakin terasah kemampuannya. Kita merevisi demi naskah yang bagus.
Sumber: Pinterest

Seperti kata Ernest Hemingway, setiap draft pertama adalah sampah. Hemingway selalu dianggap genius dalam menulis, tetapi dia selalu menulis ulang tulisannya. Bahkan dia pernah menulis ulang adegan hingga tiga puluh hingga empat puluh kali. Dibandingkan sang genius, siapakah kita? 

Dan Minggu depan adalah bagian terakhir dari musim pertama BELAJAR MENULIS NOVEL. Topik yang kita bahas  adalah: MENJADI PENULIS. Ya, tentang posisi diri sebagai penulis.

Semoga bermanfaat.



Share:

Thursday, February 20, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 7): DIALOG



18 Hal tentang Dialog, Pengindraan, dan Menulis Dramatis

1. Novel dramatis ditulis dalam tiga bentuk: narasi dramatis, adegan, dan semi-adegan

2. Dalam narasi dramatis, narator menghubungkan aksi-aksi, memperlihatkan perkembangan karakter, dan mengeksploitasi konflik batin, namun melakukannya dalam bentuk ringkasan.

3. Dalam adegan, narator menggambarkan aksi sebagaimana terjadinya, dalam rupa dialog.

4. Hindari dialog kehidupan sehari-hari yang membosankan. 

5. Dialog yang baik mengekspresikan maksud karakter secara tidak langsung.

6. Semi-adegan adalah narasi dramatis yang memuat pula adegan di dalamnya, bercampur porsi narasi dan dialog.

7. Tulisan dramatis membutuhkan peningkatan konflik. Cerita harus meningkat dari satu keadaan ke keadaan berikutnya.

8. Adegan juga memiliki konflik, yang menuntun pembaca menuju konflik utama dari cerita. buatlah dialog yang memuat dan meningkatkan konflik.

9. Sebuah adegan bentuknya sama seperti cerita: dimulai dari ketegangan yang rendah, meningkat menjadi klimaks, hingga menemukan resolusinya.

10. Hindari menggunakan adegan penuh jika pada awalnya konflik belum terbangun.

11. Pertimbangkan masing-masing adegan, apakah ada bagian adegan yang bisa dipersingkat demi meningkatkan kecepatan alur. 

12. Mempercepat alur berguna untuk menjaga pembaca tetap tertarik pada konflik dan tidak bosan. Selain itu, bisa juga menggantung klimaks adegan demi membuat penasaran pembaca.

13. Pertanyaan untuk menguji dialog yang bagus atau tidak:

  • Apakah ada dalam konflik? Dialog harus mendukung cerita, meningkatkan dari satu keadaan ke keadaan lain.
  • Apakah terdengar basi atau klise? Pilihlah dialog yang tidak seperti percakapan membosankan yang mungkin saja terjadi di kehidupan si penulis.
  • Apakah karakter berdialog demi menyampaikan makna secara tidak langsung? Inilah yang membuat novel seperti permainan menarik, karakter berdialog dengan menyampaikan maksud secara tersirat.
  • Apakah dialognya terdengar cerdas, dan berwarna? Karakter berdialog sesuai dengan kapasitas maksimumnya, dan sesuai sifat karakter. Pemilihan kata dan panjang-pendek kalimat juga memengaruhi.

14. Aturan untuk prosa dinamis dalam narasi dan deskripsi:

  • Spesifik: tempat, waktu, situasi
  • Melibatkan semua indra: penciuman, pengecap, peraba, pendengaran, tekanan, panas, dingin, bahkan indra psikis seperti pertanda, deja vu, dan semacamnya.
  • Puitis, tetapi jangan berlebihan, maka gunakan kiasan (personifikasi, hiperbola, metafora, dan simile)

15. Kiasan:

  • Personifikasi adalah memberikan kualitas manusia pada benda mati. Contoh: “Aku cinta mobilku, tetapi ia membenci aku.”
  • Hiperbola adalah melebih-lebihkan. Contoh: “Mantanku bersikap seperti tentara Nazi dan berwatak buaya.”
  • Metafora adalah menyiratkan perbandingan satu hal dengan terminologi hal lain. “Dia berhenti diet di bulan Mei, dan menjadi paus di bulan November.”
  • Simile adalah membandingkan dengan menggunakan “seperti”, “bagai” dan semacamnya. Contoh: “Setelah diinjak kuda, kaki pria itu jadi seperti panekuk.”

16. Pilihlah kiasan yang beresonansi dengan cerita, tema, karakter, konflik. Contoh: Charles Dickens, dalam A Christmas Carol, mendeskripsikan karakter utamanya “sendiri bagai tiram.” Kita tahu bahwa tiram mempunyai cangkang, dia berada di dalam cangkang itu, sendirian, terisolasi, dan bentuknya kecil. Pas dengan karakter tokoh utama tersebut. Inilah yang dimaksud dengan resonansi.

17. Petunjuk menggunakan kiasan:

  • Jangan gunakan yang lama atau klise, tetapi yang bagus dan segar
  • Jangan gunakan simile yang tidak logis
  • Jangan mencampurkan dua atau lebih metafora
  • Pastikan kiasanmu bisa dimengerti pembaca
  • Jangan melebih-lebihkan atau menambah-nambahi perbandingan
  • Hati-hati jika membuat perbandingan, pastikan beresonansi
  • Kiasan dengan hal menjijikkan tidak akan menghasilkan resonansi yang bagus
  • Jangan membuat kiasan yang sulit divisualisasikan
  • Jangan bermegah-megah
  • Jangan gabungkan kiasan dengan harfiah

18. Tips yang penting untuk membuat prosa dinamis:

  • Buatlah deskripsi melalui sudut pandang karakter.
  • Gunakan deskripsi dengan prosa yang aktif, bukan statis. Gambarkan sesuatu terjadi pada benda, bukan hanya penyebutan benda ini itu, dll.
  • Adegan sebaiknya berubah, atau persepsi pembaca terhadap adegan sebaiknya berubah. Adegan memberikan sesuatu ‘pencerahan’ bagi pembaca terhadap keseluruhan cerita.
  • Masukkan unsur waktu, warna, tekstur, kedalaman.
  • Detail lebih baik daripada terlalu umum.
  • Berikan pengalaman membaca seperti menonton film, namun lebih baik lagi, yaitu melibatkan indra: pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap,, penciuman, indra psikis, dan rasa humor.

Teman-teman yang ingin berdiskusi, bisa menghubungiku di before20writer@gmail.com atau pada kolom komentar di bawah.

Minggu depan kita akan mempelajari MENULIS ULANG.

Semoga bermanfaat.

Share:

Thursday, February 13, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 6): SUDUT PANDANG

Setelah penulis membuat cerita dengan klimaks-resolusi yang cukup hebat—tenang, selalu ada kesempatan untuk merevisi cerita atau klimaks yang masih “yah, lumayanlah”—dia perlu menentukan sudut pandang. Mungkin kita pernah membaca tentang point of view (POV) 1, 2, 3. Lalu ada nasihat begini: “Gunakan POV 1 untuk intimasi karakter dengan adegan, sehingga lebih terasa bagi pembaca. Dan hindari POV 3 jika tidak ingin ceritamu jadi berjarak atau semacam itulah.” James N. Frey, penulis buku yang kita pelajari ini, mengatakan hal seperti itu di buku pertamanya. Namun, di jilid kedua dia mengakui kekeliruannya. Kenapa? Mari kita mulai dulu pelajaran pada minggu ini.

Sumber: makemisteaks

Apa itu sudut pandang?
Dalam novel, biasanya yang disebut sudut pandang adalah sudut padang karakter, yaitu kombinasi dari opini, prasangka, selera, dan sikapnya terhadap karakter lain, situasi, dan sebagainya. Jadi, jika saat membaca sebuah novel kita menemukan begini: “Joko tidak menyukai donat bertabur kacang, rendang buatan istrinya, dan maling jemuran.” berarti penulisnya sedang membeberkan sudut pandang karakter tersebut. Seperti yang kita pelajari pada minggu pertama, karakter mempunyai tiga dimensi: fisiologi, psikologi, dan sosiologi.

Lalu, apa maksudya dengan “point of view”? 
Sama saja, tetapi terkadang istilah ini cukup membingungkan. Beberapa penulis mengatakan kalau POV adalah bagaimana cara buku itu ditulis; pakai “aku” atau “dia”? Lebih tepatnya sudut pandang adalah bagaimana posisi penulis dalam hubungannya dengan karakter. Ini disebut locus of narrative. Ada beberapa pilihan:

  • Sebagai saksi mata objektif seperti reporter (objective viewpoint)
  • Sebagai seorang karakter (subjective viewpoint)
  • Sebagai dewa yang mahatahu (omnicient)


Bagaimana sudut pandang sebagai saksi mata objektif seperti repoter itu?
Seperti seseorang yang menceritakan kejadian yang dilihatnya. Dia akan menceritakan hal tersebut secara objektif, hanya tindak tanduk karakter saja. Sedangkan dia sama sekali tidak menulis apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh. Sudut pandang ini sering dipakai dalam novel detektif atau thriller yang membutuhkan misteri serta rahasia tersimpan sebelum saat yang tepat. Namun, jika menggunakan sudut pandang ini, pembaca akan merasa kering, seperti membaca laporan berita. Yup, terkadang saat kita membaca novel karya seorang wartawan,  kita serasa membaca koran, bukan cerita. 

Solusinya adalah menggunakan sudut pandang objektif modifikasi (modified viewpoint). Narator, selain menuliskan tindak tanduk karakter, juga membuat dugaan/prasangka terhadap tindakan tersebut. Kadang dia mengira-ngira sesuatu yang ternyata tidak terbukti. Dia ingin pembaca menebak-nebak apa yang sebenarya terjadi dan apa akibatnya. Kadang dia mengira-ngira sesuatu yang sama-sama dikira pembaca. Namun, ada penulis yang ‘curang’ menggunakan teknik ini untuk mengelabui pembaca. Contohnya: seorang karakter diceritakan menanti-nanti pujaan hatinya yang lagi merantau, tapi menjelang halaman terakhir dia malah jadian dengan orang lain.  

Yang kedua?
Subjective viewpoint, atau sudut pandang orang pertama, adalah menggunakan karakter sebagai narator. Sudut pandang ini disebut subjektif karena opini, prasangka, selera, dan sikap naratornya adalah milik si karakter. Dia menceritakan sesuatu kejadian sesuai dimensi karakternya. Dia akan menghakimi sesuai pemikirannya, akan mengatakan sebuah kejadian menyenangkan karena dia merasa senang, dan sebagainya. Naratornya tidak harus karakter utama. Bisa protagonis, antagonis, bahkan karakter minor. 

Contohnya: Love Story (Erich Segal), Looking for Alibrandi (Melina Marchetta), dwilogi If I Stay (Gayle Foreman), dan banyak lagi.

Dan omnisien? 
Inilah yang membuat penulis bisa pura-pura sebagai tuhan bagi karakter ciptaannya. Dia memasuki kepala setiap karakter, mengatakan apa yang terjadi di dalam kepala mereka, apa yang mereka rasakan, bagaimana pendapat mereka terhadap sebuah kejadian. Sudut pandang bisa berubah dari satu karakter ke karakter yang lain. Novel-novel klasik (Victorian novel) biasanya mengunakan sudut pandang seperti ini. Namun, bukan berarti ini tidak bisa digunakan lagi. 

Saran terbaik adalah menggunakan omnisien terbatas. Yaitu, narator bisa memberitahu isi kepala karakter tertentu saja, bukan semua karakter. Dengan cara ini, pembaca berkesempatan untuk mengenal dan mengidentifikasi karakter yang penting. Penulis tidak perlu mengubah sudut pandang terlalu sering. 

Contohnya: The Hours (Michael Cunninghum), serial Harry Potter (J.K. Rowling), Cheer Boy (Asai Ryo). Novel saya yang berjudul Song of Will, juga menggunakan omnisien terbatas.

Bagaimana menentukan sudut pandang mana yang dipakai?
Jawabannya adalah dengan sebuah pertanyaan: “Siapakah yang paling tepat untuk menceritakan kisah tersebut?” Misalkan tokoh utama meninggal di tengah cerita, tidak mungkin kita akan menggunakan sudut pandangnya. Dia sudah mati sebelum sempat menceritakan kelanjutan cerita. 

Sudut pandang subjektif sama saja dengan sudut pandang omnisien terbatas. Jika ada yang bilang bahwa subjektif lebih terasa intimasi karakter dengan pembaca dibanding omnisien terbatas, maka abaikan nasihat tersebut. Keduanya bisa mengantarkan cerita dengan kadar intimasi yang sama. Cobalah beragam sudut pandang, dan pilih mana yang menceritakan dengan paling baik. 

Pertimbangkan juga pilihan sudut pandang sesuai dengan genre novel. Jika novel romance ingin menampilkan hubungan antara sepasang kekasih, maka gunakan omnisien terbatas. Jika ceritanya adalah novel remaja tentang cewek yang hamil dan melahirkan sebelum lulus SMA, gunakan subjektif. Sedangkan jika cerita mengenai masyarakat, seperti novel Victorian, gunakan omnisien mahatahu.

Oh, ya, ada yang bilang kalau penulis tidak boleh ‘menampakkan diri’ dalam cerita, begitukah?
Aku sering mendengar itu, apalagi jika naskah kita dibaca oleh teman sendiri. Dia akan bilang: “Dalam naskah ini kamu masih muncul, masih kelihatan seperti kamu!” Well, James N. Frey mengakui di jilid kedua How to Write A Good Damn Novel, bahwa dia keliru di jilid pertama. Awalnya dia bilang penulis harus tidak kelihatan (invisible), tetapi nasihat terbaiknya adalah penulis tentu saja bisa muncul di tulisannya, terutama untuk objektif dan omnisien, penulis bisa saja muncul. Contoh paling klasik adalah: “Pembaca yang budiman, dahulu kala...” atau saat dia mulai memperkenalkan karakter utama: “Ada tiga orang wanita di balkon itu, dan Anne adalah yang paling cantik.” Siapa yang mengatakan Anne cantik, siapa yang menentukan? Tentu saja penulis. 

Selain sudut pandang, kita mempelajari beberapa hal berikut:
Identifikasi
Penulis perlu membuat pembaca bisa mengidentifikasikan dirinya terhadap karakter. Identifikasi adalah pembaca mampu membayangkan jika apa yang dialami karakter dialami oleh dirinya sendiri. Caranya dengan mencelupkan karakter ke situasi emosional. Buatlah karakter menghadapi pilihan, yang sulit, sehingga pembaca bisa berpartisipasi dalam proses mengambil keputusan. Buatlah pembaca bersimpati dan berempati terhadap karakter.

Kilas balik
Satu nasihat: hindari ini, gunakan hanya jika benar-benar dibutuhkan. Pertahankan cerita berlangsung SAAT INI juga. Kilas balik adalah salah satu cara yang ‘curang’ karena penulis tidak cukup lengkap menulis bagian status quo. Apa itu status quo? Baca lagi di sini. Novel akan lebih menarik jika ditulis secara kronologis, tanpa diinterupsi oleh kilas balik. Hal ini bisa diubah dengan membuat kilas balik itu disampaikan oleh karakter di adegan saat ini. Apakah ini membuat cerita jadi kurang menarik? Tentu saja ini akan membuat cerita berlanjut, konflik terbangun, dan pembaca meneruskan bacaannya.

Pertanda (foreshadowing)
Inilah seni membangkitkan story question. Dengan pertanda, kita bisa membuat pembaca penasaran dengan apa yang akan terjadi. Selain membuat penasaran, penulis juga bisa membuat semacam ‘kejutan’ dengan cara membuat karakter melakukan aksi tertentu selama masih di status quo atau di sela konflik, yang penting sebelum klimaks, yang mana aksi ini akan memainkan bagian besar belakangan. Contohnya: dalam salah satu novel favorit saya dari seri Harry Potter, The Prisoner of Azkaban, diceritakan di awal kalau Hermione mengambil banyak kelas, membuat Harry dan Ron heran bagaimana caranya mengatur jadwal. Ternyata di akhir ketahuan kalau Prof. McGonagall memberikan jam pasir ajaib demi Hermione bisa memutar ulang waktu. Benda ini membantu mereka nantinya menghadapi dementor dan menyelamatkan hippogriff-nya Hagrid. Pertanda bisa dibuat lewat narasi, menggunakan karakter minor, atau aksi karakter utama sendiri. Dan, seperti janji suci, pertanda harus ditepati. Tindakan ‘kecil’ itu harus memberikan dampak yang layak bagi pembaca.

Simbol
Biasanya, jika kita sekolah di Amerika, murid ditugaskan menemukan simbol, pesan tersembunyi penulis kepada pembaca. Namun, bagi kita yang ingin menulis novel, tujuan simbol adalah untuk memberikan arti tambahan bagi sesuatu (aksi maupun benda). Simbol yang tepat akan memfokuskan pembaca pada konflik. Contohnya: seorang karakter ingin diterima di kalangan elit, maka disimbolkan dia menggunakan pakaian mahal dan mobil sport terbaru. Pastikan simbol bukan sekadar ‘permainan’, tetapi sesuatu memang berdampak pada karakter, konflik, atau klimaks.

Ternyata panjang juga artikel pelajaran minggu ini. Semoga bermanfaat dan jika ada yang ingin berdiskusi silakan email ke before20writer@gmail.com. Minggu depan kita bersama-sama membahas DIALOG. 

Baca bahasan sebelumnya:  Minggu 1: KarakterMinggu 2: KonflikMinggu 3: PremisMinggu 4: CeritaMinggu 5: Klimaks

Share:

Thursday, February 6, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 5): KLIMAKS

James N. Frey, dalam bukunya yang sedang kita pelajari, How to Write A Good Damn Novel, meminta kita membayangkan klimaks sebagai ujung seberang dari jembatan yang sedang kita lewati. Titik awal kita berjalan adalah premis, sesuatu yang harus dibuktikan. Cerita adalah jembatan, sesuatu yang dibangun dengan peningkatan intensitas, konflik yang semakin menarik perhatian pembaca, di mana terjadi perubahan karakter setiap kali menyelesaikan konflik—hingga sesuatu terjadi sebagai konflik utama novel tersebut. Sebuah revolusi, perubahan yang mendasar. Aristoteles dalam The Poetics menyebutnya sebagai “peripety”, yaitu perubahan ke arah yang berlawanan secara cepat. Jika cerita adalah sebuah pertanyaan, maka klimaks adalah jawabannya. Klimaks berada di seberang cerita. 


Inilah klimaks The Godfather. Sumber: VideoMaker

Apa maksudnya dengan di seberang cerita?
Karakter melalui alur cerita yang mengubah sifatnya secara mendasar, sehingga dia berada di “seberang” dari awal mula. Di klimaks, karakter pengecut akan menemukan keberanian. Dua orang yang saling menyukai tetapi masih saling mengenal satu sama lain akan bersatu (mungkin menikah), atau pendosa menjadi alim dan alim jadi pendosa. Contoh pada The Old Man and The Sea: Pak Tua yang awalnya tidak mendapatkan ikan selama 84 hari akhirnya bisa mendapatkan ikan yang sangat besar. Atau dalam novel Cheer Boy, tim pemandu sorak beranggotakan para amatiran itu bisa menjadi tim yang diperhitungkan di ajang tingkat nasional. 

Bukankah klimaks termasuk di dalam cerita?
Setengah benar, tetapi cerita adalah narasi perjuangan karakter demi passion-nya. Mulailah dengan menarasikan keadaan karakter sebelum dia menemui dilema. Dia berjuang menyelesaikan dilema itu, namun tindakannya malah menyebabkan keadaan lain yang lebih kritis, dan keadaan kritis meningkat ke titik di mana ini harus diselesaikan. Lalu, sebuah aksi dilakukan karakter, menuju klimaks. Hasilnya bisa happy ending atau sad ending, tetapi krisis berakhir.  Bagaimanapun keadaan berubah, selalu ada revolusi, yaitu keadaan berubah secara mendasar. 

Apa klimaks berarti ending, lalu apa perbedaan antara klimaks dan resolusi?
Terkadang orang membedakan antara klimaks dan resolusi. Padahal keduanya adalah satu entitas. Klimaks adalah titik, sebuah momen, bagian tertentu yang akan dikenal pembaca sebagai konflik utama cerita.  Sedangkan entitas klimaks-resolusi adalah pembuktian premis. Klimaks saja belum cukup untuk membuktikan premis, harus berwujud klimaks-resolusi.

Contohnya: premis The Godfather adalah “setia pada keluarga menyebabkan terlibat dalam kehidupan kriminal” (ingat selalu ada 3C dalam premis). Cerita memperkenalkan Michael yang tidak mau ikut urusan keluarga tetapi dia sayang keluarganya. Lalu terjadi konflik: ayahnya diserang. Dia mulai berubah, hingga suatu saat dia harus melakukan tindakan demi keluarganya melalui sebuah pembunuhan. Klimaks adalah saat terjadi balas dendam, aksi kriminal yang besar. Sedangkan resolusinya adalah keluarga Corleone kembali menguat, dan Mike menjadi Don, penerus ayahnya, menjadi The Godfather.

Apakah klimaks hanya untuk karakter utama?
Setiap karakter memiliki premis masing-masing. Jika premis novel adalah “seorang yang sangat mencintai bisa menyebabkannya gila”, bukan berarti semua karakter di dalam novel tersebut sedang jatuh cinta. Selain karakter utama, karakter pendukung pun harus berubah, harus mendapatkan bukti dari premis mereka sendiri. Contoh: selain Mike, di The Godfather juga ada Sonny, kakaknya. Sonny orang yang cepat marah, bertindak sebelum berpikir, dan sikapnya menyebabkan dia dibunuh. Premis bagi karakternya adalah “seseorang jika berdarah panas bisa membuatnya mati”. Terbukti gara-gara menyerang orang membabi buta, akibatnya Sonny dijebak dan dibunuh. Karakter harus dinamis, mereka berubah setelah menghadapi konflik-konflik. Dan premis harus dibuktikan. 

Apakah masih ada konflik setelah kilmaks?
Ada, namanya ‘konflik penyelesaian’. Konflik dengan intensitas menurun, antiklimaks, menunjukkan akibat dari klimaks. Konflik penyelesaian juga diperlukan untuk menyelesaikan konflik sekunder yang sebelumnya diberikan sebelum klimaks. Contohnya: seorang cowok pengangguran sedang mencari kerja. Gara-gara dia seorang pengangguran maka pacarnya kecewa. Klimaksnya dia mendapat pekerjaan. Dan ‘konflik penyelesaian’-nya adalah kembalinya si pacar setelah si cowok mendapat pekerjaan (happy ending) atau mereka memutuskan memang sebaiknya putus saja (sad ending). Konflik penyelesaian diperlukan hanya jika ada konflik sekunder atau konflik yang belum diselesaikan pada klimaks.

Jadi, bagaimana cara membuat klimaks-resolusi yang berhasil?
Ikuti langkah berikut:
Pertama: berikan kejutan bagi pembaca
Kedua: gugah emosi pembaca
Ketiga: berikan ganjaran bagi karakter
Keempat: temukan sifat baru bagi karakter
Kelima: lengkapi cerita novel dengan klimaks-resolusi

Contoh: The Godfather lagi. 
Pertama: kejutan. 
Saat keluarga Corleone masih terancam, ternyata Mike-lah melakukan balas dendam brutal terhadap semua kepala keluarga mafia lain.
Kedua: emosi pembaca. 
Yaitu saat pembaca setuju dan mendukung tindakan Mike, pembaca ingin Mike dan keluarga Corleone tetap bertahan dan semakin kuat. Kalau tidak, pembaca akan kecewa.
Ketiga: ganjaran bagi karakter. 
Mike menjadi penerus Don Corleone. Dia menjadi The Godfather.
Keempat: sifat baru.
Mike tidak lagi seorang warga sipil biasa. Dia menjadi lebih dingin dan perhitungan. Dia mafia. Setiap tindakannya adalah menyangkut keluarga dan bisnis keluarga Corleone.
Kelima: lengkapi cerita dengan klimaks-resolusi.
Setiap konflik, pertanyaan diselesaikan dengan klimaks-resolusi. Premis terjawab. Bahkan untuk konflik sekunder. Jika konflik utama adalah Mike melakukan balas dendam besar-besaran, maka konflik sekunder adalah kekuatan keluarga Corleone semakin meningkat di antara keluarga mafia New York lainnya. Tidak semua konflik sekunder harus diselesaikan, tetapi yang penting cerita selesai. Karena klimaks yang bagus meninggalkan kesan bagi pembaca bahwa cerita dalam novel yang mereka baca sudah selesai. Finish.

Kalau begitu, finish juga pelajaran minggu ini. Kamis depan kita akan belajar bersama mengenai SUDUT PANDANG (termasuk tentang narator dan penggunaan flashback). 

Semoga bermanfaat.

Baca bahasan sebelumnya:  Minggu 1: Karakter - Minggu 2: KonflikMinggu 3: PremisMinggu 4: Cerita

Share:

Thursday, January 30, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 4): CERITA

Setelah menciptakan karakter, membuat konflik, sehingga bisa menentukan premis, saatnya penulis novel menyusun cerita. Sederhananya cerita adalah narasi kejadian-kejadian. Seperti yang kita lakukan jika bertemu dengan kawan lama, kita akan bertanya tentang apa saja yang mereka lakukan selama kita tidak bertemu dengannya. Dia akan bercerita. Yah, memang ada cerita yang menarik dan ada cerita yang tidak menarik.

Sumber: The Writer's Room

Dalam fiksi, ada beberapa hal yang membuat cerita lebih menarik sehingga pantas untuk dituliskan oleh novelis. Yaitu adanya:
(1) karakter yang pantas untuk diceritakan (yang bagaimana? Baca lagi bahasan minggu 1)
(2) karakter tersebut berubah setelah mengalami kejadian-kejadian.
Jadi, cerita di dalam novel yang bagus adalah narasi kejadian-kejadian tentang karakter yang menarik yang mengalami perubahan sebagai akibat dari kejadian-kejadian tersebut.

Kenapa karakter harus mengalami perubahan?
Karena seseorang yang tidak berubah sepanjang hidupnya berarti stagnan dan hidupnya sangatlah membosankan. Dan sebagai penulis novel, kita hendaknya menghindari hal-hal yang membosankan. Salah satu nasihat dari banyak penulis hebat adalah jangan repot-repot menulis kalau karakter fiksi tidak berubah di akhir cerita.

Apa sih yang dimaksud berubah?
Bisa jadi fisik karakter, seperti narator dalam Fight Club yang babak belur karena dihajar oleh orang-orang yang merasa terganggu karena dia menghalangi Project Mayhem (ingat aturan pertama klub petarung, haha). Namun, yang lebih penting adalah sifat, sikap, atau pandangan karakter terhadap sesuatu. Contohnya, dalam novel Love Story. Oliver Barret IV awalnya dikenal sebagai atlet hoki Harvard yang emosional dan sering berkelahi di pertandingan. Namun, di akhir cerita dia adalah suami setia hingga akhir kehidupan istrinya, Jenniver Cavilleri. Dan dia bisa menerima kematian istrinya dengan sabar, tanpa amarah. Sepanjang novel Oliver memang mengalami banyak kejadian: timnya kalah, diragukan orangtua sendiri, jatuh miskin, harus menyelesaikan kuliah segera agar bisa dapat kerja yang bagus, lalu jadi kaya lagi, tetapi sayangnya istrinya menderita leukimia dan segera meninggal. Di akhir cerita Oliver sama sekali orang yang berbeda dari karakter di awal cerita.

Lalu bagaimana bentuk cerita yang bagus itu?
Yaitu harus dramatis, karena inilah tipe cerita yang sangat enak untuk dibaca. Dalam cerita dramatis, karakternya berjuang menghadapi penghalang menuju passion-nya. Kalau sekadar cerita urutan kejadian, tidak membuat karakter bergerak dan berubah, berarti ini cerita yang membosankan. Buatlah cerita yang mengundang simpati dan identifikasi diri pembaca terhadap karakter. Identifikasi adalah saat pembaca bisa merasakan bagaimana seandainya mereka mengalami sendiri kejadian tersebut. Seperti mereka berkata, “Aku tahu rasanya menyedihkan kalau itu terjadi padaku.”

Selain itu, cerita yang bagus perlu memiliki “story question”, yang membuat pembaca bertanya-tanya apa yang terjadi selanjutnya setelah sebuah kejadian. Apa yang akan dilakukan karakter? Dan pertanyaan tersebut harus muncul semenjak pembukaan novel. Buatlah pembaca bertanya-tanya karena penasaran.

Terus, bagaimana awal cerita yang menarik?
“Status quo”, mulailah dengan memperlihatkan kepada pembaca bagaimana keadaan awal dari karakter. Maksudnya bukan membuat biografi dengan data seperti lahir di mana dan sebagainya (yang ini untuk penulis sendiri saat menciptakan karakter). Pada awal cerita, buatlah adegan-adegan yang menunjukkan sifat-kebiasaan-pandangan dari karakter-karakter yang akan terlibat dalam konflik cerita. Buatlah status quo sehingga pembaca bisa memahami kenapa nantinya karakter melakukan sesuatu saat menghadapi konflik.

Noor H. Dee, teman diskusiku, pernah membahas sebuah cerita yang karakternya tiba-tiba membunuh. Padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda karakter ini mampu membunuh seseorang. Tentu saja, bolong tersebut bisa ditambal jika penulis bersedia untuk menceritakan kejadian lebih awal sehingga pembaca bisa memahami dan memperoleh logika cerita.

Coba kita contoh dari The Godfather: Michael “Mike” Carleone berubah di akhir cerita. Dia awalnya tidak mau terlibat bisnis mafia keluarga, namun karena cinta keluarga dia bersedia membunuh orang-orang yang membahayakan nyawa keluarganya. Cerita dimulai dari pernikahan adik Mike (sebuah acara keluarga di mana semua orang hadir), dan dengan cerdik penulis bisa memperlihatkan semua karakter yang terlibat sepanjang cerita. Namun, perubahan Mike dari warga biasa menjadi mafia bisa diterima. Mario Puzo, sang penulis, memperlihatkan bagaimana Mike sangat menyayangi keluarganya, dia ikut wajib militer demi menjadi warga Amerika yang baik (dia datang dengan pakaian militer ke pernikahan adiknya). Makanya kita tidak heran kalau dia bisa menggunakan pistol dan memberikan strategi yang baik di saat keluarga-keluarga mafia Italia di New York bisa saja mulai berperang. 

Sedangkan pada Lolita, Nabokov menceritakan biografi dari Humbert Humbert, sang tokoh utama. Dengan itu pembaca bisa tahu dan memahami kenapa orang tua itu sangat mencintai dan menginginkan Lolita sedemikian rupa, yang umurnya jauh lebih muda dari dia. 

Situasi sebelum konflik, itulah status quo

Tanpa status quo, pembaca akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa penulis novel ini tidak membuat cerita yang logis dan menarik untuk di baca. Tentu kita ingin menghindari hal tersebut.

Bagaimana menyajikan cerita (kejadian-kejadian) dalam novel?
Secara bertahap, sehingga karakter berkesempatan berubah pada beberapa keadaan, tumbuh dari satu kutub ke kutub yang lainnya secara berangsur-angsur. Aristotle menulis dalam The Poetics bahwa sepanjang cerita dramatis karakter harus melewati “serangkaian keadaan yang memungkinkan dan dibutuhkan, bisa dimulai dari kemalangan ke kebahagiaan atau dari kebahagiaan ke kemalangan.” Atau dengan kata lain dari satu kutub ke kutub yang lain. 

Apakah ada cara untuk membuat urutan kejadian dan cerita?
Gunakan “stepsheet”, yaitu detail dan urutan kejadian yang akan ada di novel. Setiap kejadian harus mengandung unsur sebab akibat. Sesuatu terjadi mempengaruhi hal lain, atau karena terjadi ini maka itu bisa terjadi. 

Contohnya, pada debut novel saya, Song of Will, karakter utama ditinggalkan sahabatnya sekaligus anggota satu grup vokalnya. Hal tersebut membuat dia merasa hilang pegangan, sehingga dia mulai meragukan diri sendiri. Salah satu anggota grup yang membencinya memanfaatkan keadaan ini dengan menghasut anggota lain, akibatnya Will dikeluarkan dari tim.

Dengan steepsheet kita menulis dengan alur yang jelas, logis, dan lengkap. Dengan ini kita bisa menghindari writer’s block. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti timeline, tumpukan kartu atau post-it (seperti pada gambar di atas), atau daftar di Ms. Word. Yang penting prinsip-prinsip cerita yang menarik ada di dalamnya. Bahkan, steepsheet bisa dipakai untuk lampiran saat mengirimkan naskah ke penerbit. Hal ini akan sangat membantu editor dalam evaluasi naskah.

Buatlah steepsheet mulai dari status quo, lalu karakter menemukan konflik, hingga berubah dan berkembang setiap menghadapi kejadian, kemudian menghadapi kilmaks. Dan minggu depan adalah saatnya kita belajar bersama mengenai klimaks. 

Yup, minggu depan kita akan belajar bersama mengenai KLIMAKS.
Terima kasih, semoga bermanfaat. 


Share:

Thursday, January 23, 2014

BELAJAR MENULIS NOVEL (MINGGU 3): PREMIS

Premis adalah hal terpenting. Inilah alasan seorang penulis membuat novel hingga ratusan lembar. Terkadang memang ada penulis yang merasa tidak perlu tahu apa premis novelnya, makanya novelnya menjadi tidak terlalu bagus, berantakan, seperti cerita dengan alurnya pergi jalan-jalan tanpa tujuan. Lama-lama hanya kebosanan dan kata-kata yang dikumpulkan.

Oh, maaf, mungkin kalimat-kalimat di novel tersebut sungguh puitis sehingga cocok banget untuk jadi status facebook atau tweet of the day. Baiklah~

Sumber: Briean Mcl


Apa itu premis?
Bayangkan premis sebagai hal berikut:

  • cinta di dalam pernikahan
  • adakadabra yang diucapkan untuk mengeluarkan kelinci dari topi
  • dayung untuk mengendalikan perahu

Buku nonfiksi mempunyai premis, contohnya buku tentang ‘menulis itu mudah’, pasti isinya berupa bab-bab yang membuktikan menulis itu mudah. Sedangkan di novel, hal tersebut juga ada. Contohnya Perahu Kertas, premisnya adalah ‘cinta sejati akan selalu bersatu’. Jadi, itu semacam kesimpulan (conclusion) dari buku tersebut. Dan premis harus dibuktikan oleh penulis dalam tulisannya.

Sebenarnya kenapa premis penting?
Aristotle menyebut premis di dalam “The Poetics” sebagai unity of action. Karena tugasnya adalah untuk menyatukan aksi-aksi dalam novel. Mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir. Semua konflik dan karakter yang sudah dibentuk akan ditata di dalam buku tersebut. Mereka akan saling bekerja sama, bahu membahu, jika ada premis. Semacam surat perintah kerja agar mereka selesaikan tugas dengan baik.

Bagaimana bentuk premis?
Sebuah kalimat. Membuat premis sangat mudah: buat kalimat sederhana tentang konflik utama yang terjadi pada karakter dan  apa hasil akhirnya. Contohnya: pada novel Cheer Boy, konflik utamanya adalah si tokoh utama ingin membuktikan bahwa menjadi penyemangat atlet pun bisa memberikan kepuasan, kebahagiaan, dan penghargaan seperti cabang olah raga lainnya. Jadi, premisnya adalah: “memberi semangat bisa membawa kepuasan dan kebahagiaan. “ Terbukti, pada akhir novel semua masalah tokoh utama berakhir dengan kepuasaan dan kebahagiaan karena membentuk tim pemandu sorak.

Contoh premis dari novel-novel klasik. Untuk mengetahui alur cerita masing-masing, klik pada judul.
The Godfather: “setia pada keluarga menyebabkan terlibat dalam kehidupan kriminal”
The Old Mand and The Sea: “keteguhan hati mengarahkan pada penyelamatan”
Lolita: “cinta yang sangat besar bisa menyebabkan kematian”
Madame Bovary: “cinta terlarang menyebabkan kematian”

Bagaimana premis yang bagus itu?
Novel adalah cerita tentang kehidupan. Dan banyak hal bisa diambil dari kehidupan. Namun, untuk membuat premis, tulislah yang spesifik untuk novel tersebut. Jangan buat premis terlalu umum sehingga sulit untuk dibuktikan hanya dengan satu novel.

Contoh premis yang buruk:

  • Orang asing tidak bisa dipercaya.
  • Kemiskinan itu buruk.
  • Mencintai itu lebih baik.


Contoh premis yang baik (perbaikan dari yang buruk):

  • Mempercayai orang asing akan menyebabkan kekecewaan.
  • Keserakahan yang tidak terkendali (yang menyebabkan ada kemiskinan) akan menyebabkan diasingkan masyarakat.
  • Mencintai dapat memberikan kebahagiaan.


Apa formula untuk membuat premis?
Yaitu 3C: character, conflict, dan conclusion.
Karakter yang menghadapi konflik dan membawanya pada sebuah kesimpulan akan satu hal.
Ingat, penyebab dari konflik adalah adanya burning passion si karakter yang menemui tantangan.

Apakah boleh menggunakan premis yang sudah dipakai?
Tentu, karena setiap penulis punya cara tersendiri untuk membuktikan sesuatu. Ini berbeda dengan plagiasi. Pengalaman, hasil belajar, pemikiran, bahkan ideologi penulis yang berbeda-beda membuat sebuah premis bisa diceritakan dalam berbagai cara. Buatlah karakter, latar, adegan, dsb yang berbeda dari yang sudah ditulis penulis sebelumnya. Sebagai contoh premis “cinta membawa kebahagiaan” sudah dipakai oleh banyak penulis.

Jika sudah ada premis, lalu apa?
Buktikan pernyataan tersebut dalam novel yang sedang ditulis tersebut. Premis membantu penulis menentukan apa saja yang boleh dimasukkan ke dalam novel (selektivitas). Setiap karakter, adegan, dsb harus diseleksi, hanya yang membantu penulis membuktikan premisnya. Jika ada hal yang tidak berhubungan dengan premis, maka sebaiknya dibuang saja. Makanya, buatlah premis yang spesifik.

Apakah satu novel hanya mempunyai satu premis atau bisa dua atau lebih?
Bisa lebih dari satu. Namun, hal ini akan dipelajari lagi pada minggu yang lain.


Sekali lagi, ini adalah catatan belajarku saat membaca How to Write a Good Damn Novel karya James N. Frey. Buku ini mengajarkan untuk membuat novel popular yang cenderung akan disukai banyak pembaca. Teknik ini memang bukan aturan mutlak yang tidak bisa diubah (tentu penulisan fiksi adalah seni, cara pengerjaannya berbagai macam). Namun, sebagai penulis yang selalu belajar dan memperbaiki kemampuan, hendaknya kita mengetahui teknik dasar sebelum melakukan dobrakan dengan mencoba hal baru, seperti yang pernah ku-“curhat”-kan di sini.

Aku bukan bermaksud untuk berlagak ahli apalagi mengajari. Aku suka berdiskusi mengenai teknik penulisan. Untuk mengajakku berdiskusi, kamu bisa menghubungiku melalui sosial media atau email ke before20writer@gmail.com.

Minggu depan kita akan belajar bersama mengenai CERITA.
Terima kasih, semoga bermanfaat. :)

Baca bahasan sebelumnya:  Minggu 1: Karakter - Minggu 2: Konflik.

Share: